Atheis dimusuhi karena tidak bertuhan. Bertuhan dimusuhi karena Tuhannya beda. Tuhannya sama dimusuhi karena nabinya beda. Nabinya sama dimusuhi karena alirannya beda. Alirannya sama dimusuhi karena pendapatnya beda. Pendapatnya sama dimusuhi karena partainya berbeda. Partainya sama dimusuhi karena pendapatnya beda. Apa kamu mau hidup sendirian dimuka bumi untuk memuaskan nafsu keserakahan?â Gus Mus Akhir-akhir ini, menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2019 yang akan datang. nampaknya sebagian dari kita sering dihadapkan pada situasi saling membenci hate speech antar sesama, entah berbagai motif dihadapkan. Mulai dari benci yang bermula dari perbedaan cara beragama, perbedaan etnis sampai pada perbedaan dalam pilihan politik. Terlepas dari itu, yang menjadi persoalan, apakah dengan perbedaan-perbedaan yang demikian itu harus kita sikapi dengan kebencian?. Sebagai contoh misalnya,kita lihat tindakan persekusi yang terjadi di bundaran Hotel Indonesia HI pada bulan Mei kemarin 5/18 bentrokan antara massa yang menggunakan kaos bertagar dia sibuk bekerjaâ dan yang bertagar 2019 ganti presidenâ. Entah bagaimanapun persoalan ini dinarasikan, tetap ini merupakan pemandangan yang sungguh tidak mengenakan tentunya bagi kita . Tidak cukup sampai disitu, sebagian dari kita bahkan seakan tidak mau menerima perbedaan tersebut, lanjut menjadi sebuah Fitnah, cacian dan makian yang tentunya tidak ingin kita harapkan kehadirannya. Kini, kata munafikâ dan dunguâ menjadi sebuah term yang sangat familiar untuk didengar sehari-hari. Sebenarnya jika kita ingin menelisik lebih dalam, bagaimana persoalan kebencian ini didudukan. Kita akan mendapati logika semacam wilayah hitam putih. Setiap kebenaran yang kita yakini akan kita anggap putih, dan selain dari putih itu berwarna hitam. Sulit bagi kita, untuk menganggap bahwa ternyata ada warna lagi selain dari duaâ ini. Yang Perlu Diperhatikan dalam Ber-amar-maâruf-nahi-munkar Sesungguhnya kebenaran itu sebuah kaca besar yang dipegang Tuhan, lalu jatuh ke bumi dan berpecah belah, manusia satu per satu memegang pecahan itu dan menganggapnya sebagai kebenaran secara utuh- Jalaludin Rumi Secara tidak langsung Rumi ingin mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang sejati kecuali yang dipegang oleh Tuhan. Mungkin, sebagian dari kita boleh-boleh saja untuk merasa benar, tetapi tidak dengan merasa paling benar. Berbicara tentang kebenaran, agama menawarkan konsep Amar Maâruf Nahi Munkar di dalam wilayah saling mengingatkan kebenaran satu sama lain. Lanjut, lebih spesifik Amar Maâruf Nahi Munkar lebih dititik-fokuskan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Ketika kita Menerapkan Amar Maâruf Nahi Munkar mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat sulit apabila sudah terkait dengan konteks bermasyarakat dan bersosial. Oleh karena itu orang yang melakukan Amar Maâruf Nahi Munkar harus mengerti betul terhadap perkara yang akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak. Yang menjadi sebuah catatan tersendiri adalah ketika kita ber-nahi-munkar. Bisa jadi, kita menganggap itu adalah sebuah perbuatan yang munkar menurut pemahaman yang kita miliki, tetapi ternyata tidak jika menurut orang lain. Ternyata perbuatan Nahi Munkar tidak bisa kita laksanakan semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang harus kita miliki sebelum melaksanakannya. Di dalam kitab Tanbiihul Ghafiliin karangan Ibnu An Nahas, kitab al Amru bil maâruf wa an-nahyu anil munkar karangan al-Qadhy abu yaâla juga kitab al-adabu syariâyah karangan Ibnu Muflih dikatakan bahwa ada empat syarat yang harus menjadi perhatian kita sebelum melaksanakan perbuatan Nahi munkar, empat syarat tersebut adalah Perbuatan tersebut benar-benar suatu kemungkaran kecil atau besar Kemungkaran tersebut masih ada Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai Kemungkaran tersebut bukan termasuk perkara Khilafiyah Jadi jelas disini, ada sebuah wilayah dimana kewajiban ber-nahi munkar seketika gugur apabila perbuatan yang dimaksud masih bersifat khilafiyah. Banyak sekali dari kita, yang sangat bersemangat sekali di dalam mengingatkan perbuatan dosa kepada saudara kita. Padahal apa yang diingatkan tersebut masih berupa khilafiyah menurut para ulama. Mirisnya, tidak hanya berhenti disitu, perbuatan khilafiyah tersebut di kemudian malah bermetamorfosa menjadi sebuah perkara yang harus disikapi dengan kebencian dan kemarahan. Semua mengatakan pihaknya yang paling benar sementara pihak yang lain sesat, kafir dan munafik dan -lagi-lagi- semuanya berlindung dibelakang nama Amar Maâruf Nahi Munkarâ. Rasulullah Tidak Mau Umatnya Saling Melaknat dan Mencela Dengan hadirnya pemandangan-pemandangan dimana sesama Muslim seakan saling beradu kemarahan dan kebencian, sejenak kita bisa merenung apakah memang ajaran jungjungan kita baginda Nabi Muhammad Saw memang demikian adanya?. Jika kita mau menelisik sedikit, ada Sekian banyak hadits Nabi Saw menganjurkan kepada umatnya untuk tidak saling melaknat dan mencela kepada sesama, diantaranya hadis yang berbunyi bahwasanya Nabi Saw bersabda âMencela seorang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiranâ HR Bukhari dan Muslim Juga hadis yang berbunyi Dari Abu Hurairah, ia berkata, dikatakan kepada Rasulullah Saw âYa Rasulullah, berdoalah celaka atas orang-orang Musyrik !â beliau bersabda âSesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat, tetapi aku diutus sebagai Rahmatâ HR Muslim Dari kedua hadis ini, tentunya kita bisa menyimpulkan bagaimana seharusnya kita bersikap kepada sesama makhluk Allah Swt. Salah satu ulama kharismatik asal Tanggerang, Habib Jindan bin Novel dalam ceramahnya mengenang Maulid Nabi di Istana kepresidenan pada tahun lalu, menjelaskan bahwa hadis yang kedua ini berlangsung dalam konteks ketika Rasulullah dalam keadaan peperangan. Bayangkan, dalam keadaan kondisi seperti demikian pun, Rasulullah tetap enggan melaknat orang-orang Musyrik tersebut. Padahal orang-orang Musyrik tersebut lah yang membunuh saudara-saudara Muslim pada saat itu. Selanjutnya, kita pun bisa menyimpulkan, kalau Rasulullah saja enggan dalam melaknat seorang Musyrik, apalagi melaknat kepada sesama Muslim?. Belakangan ini, nampaknya sering kita dihadapkan pada suasana betapa mudahnya kata âmunafikâ,âdunguâ sampai âkafirâ dilontarkan, baik itu dari kalangan muslim kepada nonmuslim, atau pun dari muslim kepada muslim lagi. Mirisnya, mereka-mereka yang melontarkan ini, selalu berlindung dibelakang kata menegakan agamaâ, padahal agama mana yang mengajarkan untuk mencela kepada sesama. Yang semestinya menjadi catatan, Seorang yang selalu melakukan maksiat pun tidak semestinya untuk dicela, dimaki, dan dihujat sedemikian rupa. Mereka-mereka ini adalah orang kehilangan cahaya keagamaan, berada pada kegelapan yang nyata, jika kita menghujat mereka, tidak akan lahir kesadaran keagamaan di dalam diri mereka, sebab apa? Yang ada didalam hati mereka hanya lah prasangka yang buruk terhadap citra agama kita. Jika anda ingin berdakwah dengan sasaran seorang pencuri, apakah perlu untuk mengatakan kepadanya bahwa âanda adalah seorang pencuri!â atau âdasar pencuri!â?. Tentunya hal seperti itu adalah hal yang tidak perlu bukan?, bukan ajaran Agama yang sang pencuri terima, yang ada pencuri malah kabur menjauh dari kita. Kegelapan ada tidak untuk dihujat, tapi untuk diberi penerangan. Kalau kita sedang berada pada sebuah ruangan yang gelap gulita, tidaklah akan membawa perubahan pada kondisi yang lebih baik jika kita terus menerus mengeluh dan membenci kegelapan, ambilah lilin kesana untuk membawa pada keadaan yang lebih baik. [zombify_post]
Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan", begitu dalih pembela kenaikan bayaran Listrik yg mencekik rakyat. Kalau gelapnya malam ya kita tidak boleh mengutuk. Sebab itu sudah Sunnatullah yg tak akan bisa dirubah manusia. Padahal dollar saat itu Rp 10.000. Sekarang Rp 13.500. Jadi kalau standard sekarang, paling Rp 675/kwhDaripadaMengutuk Kegelapan lebih baik menyalakan lilin Sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Wabah ini membuat roda perekonomian di sektor UMKM tersendat. UMKM selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi nasional.Lebihbaik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Ibaratnya ketika kita sedang berada dalam kegelapan malam, yang kita butuhkan adalah cahaya penerang. Maka nyalakanlah cahaya itu, walo cuma sebatang lilin, bukan hanya malah sibuk ngegulutuk, mengumpat, merutuk sampai mulut berbusa tanpa melakukan apa-apa. Seperti pepatah China yang mengatakan lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan," kata Prof Fathul Wahid pada sesi pembukaan, Senin 2 Agustus 2021, seperti dikutip Local Organizing Committee Chair 52th of Asia-Pacific Advance Network, yang juga Kepala Badan Sistem Informasi UII Mukhammad Andri Setiawan ST MSc PhD dalam rilis LEBIH baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Pepatah Tiongkok kuno itu terasa amat relevan ketika kita melihat jerih-payah upaya memperbaiki kinerja perusahaanperusahaan milik negara. Sejarah panjang BUMN mencatat, perjalanan perusahaanperusahaan milik negara memang tak selalu mulus. Kinerjanya dinilai masih tak seperti yang diharapkan. DFdS.